Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, mengungkapkan keraguannya terhadap keadilan vonis yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis. Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang diduga merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @mohmahfudmd, pada Kamis (26/12/2024), Mahfud mempertanyakan, “Di mana keadilan?” Kompas.com telah mengonfirmasi pernyataan ini melalui staf Mahfud dan mendapatkan izin untuk mengutipnya.
Mahfud menegaskan bahwa dakwaan jaksa terhadap Harvey jelas menyebutkan “merugikan keuangan negara,” bukan sekadar “potensi merugikan perekonomian negara.” Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa dalam kasus korupsi, kerugian negara harus nyata, bukan potensi.
Meskipun jaksa menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar, hakim akhirnya menjatuhkan hukuman yang lebih ringan. Mahfud menyoroti bahwa vonis tersebut hanya mencakup sekitar 0,007 persen dari total kerugian negara yang didakwakan, yaitu Rp 300 triliun.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan Harvey Moeis bersalah atas tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU) terkait tata niaga komoditas timah. Namun, hakim menilai tuntutan jaksa yang meminta hukuman 12 tahun terlalu berat dibandingkan dengan peran Harvey yang terungkap dalam persidangan.
Hakim Eko, dalam persidangan pada Senin (23/12/2024), menyatakan bahwa Harvey tidak memiliki kedudukan struktural di PT Refined Bangka Tin (RBT) dan tidak berwenang dalam pengambilan keputusan kerja sama dengan PT Timah Tbk. Oleh karena itu, majelis hakim mempertimbangkan bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan oleh Harvey.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keadilan dalam penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah besar. Mahfud MD, sebagai mantan Ketua MK, menekankan pentingnya keadilan yang nyata dan proporsional dalam setiap putusan hukum. Pertanyaan yang diajukan Mahfud mencerminkan kekhawatiran publik terhadap integritas sistem peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.