Di tengah hiruk-pikuk Car Free Day (CFD) Jakarta, muncul fenomena baru yang mengundang perhatian: joki Strava. Para remaja ini menjadikan CFD sebagai ladang penghasilan dengan menawarkan jasa lari sejauh 5 kilometer, dihargai hingga Rp 300.000. Mereka memanfaatkan aplikasi Strava untuk membantu klien memperbaiki catatan waktu atau jarak tempuh. Fenomena ini menarik minat dari pelari amatir hingga profesional.
Joki Strava beroperasi dengan memanfaatkan aplikasi Strava, platform yang digemari pelari dan pesepeda untuk mencatat aktivitas olahraga. Klien yang ingin memperbaiki catatan mereka akan menghubungi joki untuk berlari menggantikan mereka. Joki kemudian mencatat hasil lari tersebut di akun Strava milik klien. Praktik ini umumnya dilakukan saat CFD, ketika jalanan Jakarta bebas dari kendaraan bermotor, memberikan ruang yang lebih luas dan aman bagi para pelari.
Fenomena joki Strava ini menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai peluang ekonomi baru bagi para pelari yang ingin memanfaatkan kemampuan mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, di sisi lain, praktik ini juga menuai kritik karena dianggap tidak etis dan merusak semangat olahraga yang seharusnya mengedepankan kejujuran dan usaha pribadi.
Bagi sebagian orang, menggunakan jasa joki Strava dianggap sebagai bentuk kecurangan, terutama dalam konteks kompetisi atau tantangan yang diadakan di aplikasi tersebut. Namun, bagi para joki dan kliennya, hal ini dianggap sebagai transaksi bisnis yang saling menguntungkan.
Komunitas olahraga, khususnya pelari, memberikan tanggapan beragam terhadap fenomena ini. Beberapa komunitas menolak keras praktik joki Strava karena dianggap merusak integritas olahraga. Mereka menekankan pentingnya usaha dan pencapaian pribadi dalam berolahraga, serta mengajak para pelari untuk lebih menghargai proses daripada hasil instan.
Namun, ada juga yang melihat fenomena ini sebagai peluang untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap olahraga lari. Dengan adanya joki Strava, diharapkan lebih banyak orang yang tertarik untuk mencoba berlari dan akhirnya terinspirasi untuk melakukannya sendiri tanpa bantuan joki.
Menanggapi fenomena ini, pihak berwenang dan penyelenggara CFD di Jakarta diharapkan dapat memberikan regulasi dan pengawasan yang lebih ketat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan olahraga di ruang publik tetap berjalan dengan semangat sportifitas dan kejujuran.
Pemerintah daerah juga diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya berolahraga dengan cara yang sehat dan jujur. Dengan demikian, diharapkan fenomena joki Strava ini tidak berkembang menjadi praktik yang merugikan semangat olahraga di masyarakat.
Fenomena joki Strava di CFD Jakarta menyoroti dinamika baru dalam dunia olahraga yang dipengaruhi oleh teknologi dan kebutuhan ekonomi. Meskipun menawarkan peluang cuan bagi sebagian orang, praktik ini juga menimbulkan pertanyaan etis yang perlu dijawab oleh komunitas olahraga dan masyarakat luas. Diharapkan, dengan adanya regulasi dan edukasi yang tepat, semangat olahraga yang jujur dan sehat dapat terus terjaga di tengah perkembangan zaman.