Pada tanggal 10 Mei 2025, para pedagang kaki lima (PKL) yang beroperasi di sekitar Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi menentang rencana penggusuran yang diinisiasi oleh pemerintah setempat. Penolakan ini menarik perhatian publik dan memicu perdebatan mengenai hak-hak pedagang kecil serta kebijakan tata kota yang adil. Para PKL merasa bahwa penggusuran ini akan mengancam mata pencaharian mereka yang telah lama bergantung pada lokasi tersebut.
Para PKL menyatakan bahwa lokasi di samping Unisma Bekasi telah menjadi tempat mereka mencari nafkah selama bertahun-tahun. Mereka menilai bahwa penggusuran ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang akan mereka hadapi. Selain itu, para pedagang juga mengeluhkan kurangnya komunikasi dan solusi alternatif dari pihak pemerintah, yang membuat mereka merasa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Penggusuran PKL di samping Unisma Bekasi diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap kehidupan para pedagang dan keluarga mereka. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup pada pendapatan harian dari berjualan di lokasi tersebut. Kehilangan tempat berjualan berarti kehilangan sumber penghasilan utama, yang dapat memicu masalah sosial seperti peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan di daerah tersebut.
Pemerintah setempat menyatakan bahwa penggusuran ini merupakan bagian dari upaya penataan kota dan peningkatan estetika lingkungan sekitar kampus. Namun, mereka juga menyadari pentingnya mencari solusi yang tidak merugikan para PKL. Beberapa opsi yang dipertimbangkan termasuk relokasi ke tempat yang lebih strategis dan penyediaan pelatihan keterampilan untuk membantu para pedagang beradaptasi dengan perubahan.
Penolakan penggusuran ini mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan aktivis sosial yang peduli terhadap nasib para PKL. Mereka menilai bahwa kebijakan penggusuran harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat kecil. Dukungan ini diwujudkan dalam bentuk aksi solidaritas dan advokasi untuk mencari solusi yang lebih adil.
Kasus penolakan penggusuran PKL di samping Unisma Bekasi menyoroti perlunya kebijakan tata kota yang lebih inklusif dan berkeadilan. Diharapkan, pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat duduk bersama untuk merumuskan solusi yang tidak hanya menguntungkan dari segi estetika kota, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan para pedagang kecil. Dengan dialog yang konstruktif, diharapkan dapat tercipta kebijakan yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.