Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kini dihadapkan pada tantangan monumental dalam menemukan figur pemimpin yang dapat menandingi kharisma dan pengaruh KH Maimun Zubair, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Moen. Ulama kharismatik dari Rembang, Jawa Tengah ini, yang juga memimpin Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, meninggalkan kekosongan besar setelah wafatnya pada 6 Agustus 2019 di Tanah Suci. Sebagai Ketua Majelis Syariah PPP, Mbah Moen dikenal mampu menjaga soliditas partai berlambang Ka’bah di tengah berbagai konflik internal.
PPP, bersama PDI Perjuangan dan Golkar, merupakan partai politik yang terbentuk di era Orde Baru melalui fusi partai-partai dengan corak serupa. Sejak awal, rezim Orde Baru merancang agar PPP dan PDI tidak berkembang besar dan selalu terjebak dalam konflik, sehingga tidak dapat menyaingi dominasi Golkar yang selalu memenangkan setiap Pemilu.
Namun, dalam satu dekade terakhir, PPP mengalami penurunan pengaruh. Nama-nama besar seperti Ismail Hasan Metareum, Hartono Marjono, Aisyah Amini, KH Alawi Muhammad, dan Hamzah Haz tidak lagi muncul di panggung politik. Politisi PPP di parlemen kehilangan daya juang dalam membela kepentingan umat, berbeda dengan masa lalu ketika tokoh seperti KH Alawi Muhammad berani mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Setelah era Reformasi, daya tarik PPP semakin pudar akibat konflik internal yang kronis. Persaingan antar kader untuk memperebutkan jabatan semakin memperburuk citra partai. Kasus korupsi yang melibatkan elite partai, seperti Suryadharma Ali dan Romahurmuzy, semakin merusak reputasi PPP sebagai penyalur aspirasi umat.
Raihan suara PPP dalam Pemilu juga menunjukkan tren penurunan. Dari 11.330.397 suara pada 1999, menurun menjadi 5.878.777 suara pada Pemilu 2024. Untuk pertama kalinya, PPP gagal menempatkan wakilnya di DPR-RI sejak didirikan pada 1973.
PPP perlu menyadari bahwa kejayaan masa lalu tidak bisa hanya menjadi kenangan. Partai harus merangkul pemilih pemula yang belum digarap secara serius. Rebranding sebagai partai Islam yang modern dan inklusif menjadi langkah penting untuk menarik minat generasi muda.
Menjelang Muktamar X PPP pada September 2025, partai harus fokus pada pembaruan strategi dan visi, bukan hanya mencari sosok eksternal untuk memimpin. Kritik terhadap program pemerintah yang menyimpang dan janji-janji politik yang tidak terpenuhi harus menjadi perhatian utama.
Nama-nama seperti Menteri Sosial Saefullah Yusuf dan Penasihat Khusus Presiden Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman sempat dipertimbangkan untuk memimpin PPP, namun keduanya menolak. Kini, nama Menteri Pertanian Arman Sulaiman dan Joko Widodo muncul sebagai kandidat potensial. Namun, usulan ini lebih didasarkan pada kepentingan elektoral semata.
Di sisi lain, Ahmad Baidowi, yang memiliki rekam jejak elektoral yang kuat, layak dipertimbangkan sebagai calon pemimpin partai. Suaranya di Pemilu 2024 mengalahkan beberapa tokoh besar lainnya, menunjukkan potensi besar untuk memimpin PPP.
PPP harus berani melakukan perubahan mendasar untuk kembali menjadi partai yang dicintai umat. Kombinasi kepemimpinan yang kuat dan strategi yang tepat dapat mengembalikan kejayaan partai. Apakah PPP akan mampu mengatasi tantangan ini dan kembali menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, semangat dan nilai-nilai yang diwariskan oleh KH Maimun Zubair harus tetap menjadi landasan dalam setiap langkah partai ke depan.