Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dengan tegas menolak untuk mengadakan perundingan langsung dengan Amerika Serikat terkait program nuklir. Araghchi menyatakan bahwa negosiasi dengan AS dianggap “tidak berarti”. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah pernyataan resmi yang dikutip oleh AFP.
Araghchi menegaskan bahwa negosiasi langsung tidak akan berarti jika pihak yang terlibat terus-menerus mengancam dengan penggunaan kekuatan yang melanggar Piagam PBB. Meskipun demikian, Kementerian Luar Negeri Iran menegaskan komitmennya terhadap diplomasi dan akan mencoba jalur negosiasi tidak langsung dengan AS.
Iran menyatakan kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan atau peristiwa yang mungkin terjadi. Dalam konteks diplomasi dan negosiasi, Iran berjanji untuk tetap tegas dan terus membela kepentingan serta kedaulatan nasionalnya. Hal ini ditegaskan oleh Araghchi dalam pernyataannya.
Sebelumnya, Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyatakan bahwa negaranya bersedia terlibat dalam dialog dengan AS “atas dasar kesetaraan”. Namun, ia juga mempertanyakan ketulusan AS dalam menyerukan negosiasi, dengan menyatakan, “jika Anda menginginkan negosiasi, lalu apa gunanya mengancam?”
Tanggapan Iran ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump meminta Teheran untuk mengadakan negosiasi ulang mengenai program nuklirnya. Namun, Trump justru melontarkan ancaman akan mengebom Iran jika diplomasi tersebut gagal. Negara-negara Barat, yang dipimpin oleh AS, selama beberapa dekade terakhir menuduh Iran berusaha mendapatkan senjata nuklir. Iran menolak tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa kegiatan nuklirnya semata-mata untuk tujuan sipil.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan penting dengan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Prancis, China, Rusia, dan Inggris, serta Jerman, untuk mengatur kegiatan nuklirnya. Perjanjian ini, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), memberikan keringanan sanksi kepada Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya untuk menjamin bahwa Teheran tidak dapat mengembangkan senjata nuklir.
Namun, pada tahun 2018, selama masa jabatan pertama Trump, Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian tersebut dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran. Setahun kemudian, Iran mulai membatalkan komitmennya berdasarkan perjanjian dan mempercepat program nuklirnya.
Penolakan Iran untuk melakukan negosiasi langsung dengan AS menandai babak baru dalam ketegangan diplomatik antara kedua negara. Meskipun Iran tetap berkomitmen pada diplomasi, ketegangan ini menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam mencapai solusi damai terkait program nuklir Iran. Diperlukan upaya diplomasi yang lebih intensif dan tulus dari semua pihak untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.