XVG – Di Jerman, tepat pada pukul 11:11 pagi hari Kamis sebelum Rabu Abu, dimulailah perayaan karnaval yang dikenal sebagai Weiberfastnacht atau Hari Karnaval Perempuan. Di sepanjang aliran Sungai Rhein, ribuan orang mengenakan kostum warna-warni dan merayakan karnaval jalanan yang berlangsung selama beberapa hari, dengan puncaknya pada Senin Mawar atau Rosenmontag. Di Kota Köln, tema karnaval tahun ini adalah “FasteLOVEnd – wenn Dräum widder blöhe” yang berarti “saat mimpi mekar kembali”. Slogan ini mengingatkan pada semangat “perdamaian dan cinta” dari generasi bunga di era 1960-an dan 1970-an, sebagai respons terhadap krisis global.
Presiden Komite Festival Karnaval Köln, Christoph Kuckelkorn, menjelaskan bahwa di masa-masa sulit, karnaval memberikan kenyamanan, kegembiraan, dan keakraban komunitas, serta sedikit harapan. “Kami ingin mengajak orang-orang untuk membenamkan diri dalam dunia mimpi karnaval bersama kami dan membiarkan diri mereka melayang sedikit — dan mungkin mereka ingin membuat dunia nyata sedikit lebih baik saat mereka terbangun,” ujarnya.
Karnaval di Kota Köln memiliki akar yang dalam dari budaya Romawi. Selama 2.000 tahun, masyarakat di kota ini, yang dahulu dikenal sebagai Colonia Claudia Ara Agrippinensium, merayakan festival Saturnalia untuk menghormati Dewa Saturnus. Perayaan ini ditandai dengan minum alkohol, menari, dan hiburan bagi semua orang. Orang kaya menukar pakaian bangsawan mereka dengan tunik sederhana milik budak dan bahkan melayani mereka. Budak juga diizinkan untuk menyampaikan kritik tajam terhadap tuan mereka, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di luar festival.
Setelah Kaisar Theodosius mendeklarasikan agama Kristen sebagai agama negara pada tahun 380, Saturnalia berakhir. Namun, gereja membingkai ulang festival tersebut untuk mengusir iblis, musuh terbesar agama Kristen. Tanggal perayaan karnaval disesuaikan dengan tahun liturgi, dan sebelum periode puasa 40 hari menjelang Paskah, orang-orang diizinkan merayakan dengan meriah. Kata karnaval berasal dari bahasa Latin “Carne” yang berarti daging dan “vale” yang berarti selamat tinggal, menandakan perpisahan dengan daging selama masa puasa.
Tradisi karnaval dibawa oleh penakluk Spanyol dan Portugal ke Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, di mana karnaval berhasil berakar. Ribuan orang berbondong-bondong ke Rio de Janeiro setiap tahun untuk merayakan karnaval dengan festival jalanan yang penuh semangat tarian samba. Meskipun karnaval pernah berada di bawah pengawasan gereja, para pastor dan uskup menoleransi periode karnaval yang digunakan untuk mengolok-olok ritual gereja, termasuk pemilihan “paus bodoh” yang masuk ke gereja dengan menunggangi keledai.
Angka 11 memiliki makna khusus dalam tradisi karnaval. Tanggal 11 November juga merupakan Hari Raya Santo Martinus, yang pada Abad Pertengahan menandai awal periode puasa hingga Natal. Dalam tradisi karnaval, angka 11 melambangkan kesetaraan “orang-orang bodoh atau konyol”, tanpa ada yang lebih tinggi nilainya. Angka ini juga memiliki interpretasi Kristen, yaitu satu lebih dari 10 jari dan satu kurang dari 12 Rasul, membawa konotasi “dosa” atau ketidaksempurnaan.
Karnaval memberikan kebebasan untuk bertindak berlebihan dan mengkritik pihak berwenang. Protes dilakukan dengan cara kreatif, seperti memakai kostum yang mencerminkan masalah sosial atau isu lingkungan. Namun, muncul perdebatan tentang pelarangan kostum yang bersifat rasis dan menghina budaya lain. Komite Festival Köln menegaskan bahwa karnaval menjunjung tinggi nilai kebebasan, toleransi, rasa hormat, dan keberagaman. Setiap orang diharapkan mempertimbangkan apakah pilihan kostum mereka dapat menyinggung orang lain, dan mencari alternatif yang baik karena tidak ada batasan untuk berimajinasi di karnaval.
Dengan demikian, karnaval di Jerman bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga cerminan dari sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang terus berkembang seiring waktu. Tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan, kebebasan berekspresi, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.