XVG – Sejak menjabat sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, Donald Trump telah memperkenalkan sejumlah kebijakan yang memicu perdebatan sengit. Salah satu yang paling mencolok adalah visinya untuk menguasai Gaza di Palestina dan mengubahnya menjadi kawasan pengembangan properti. Dalam wawancara dengan Bret Baier dari Fox News, Trump mengungkapkan impiannya untuk menjadikan Gaza sebagai “sebidang tanah yang menawan” yang tidak memerlukan banyak biaya untuk dikembangkan.
Pertanyaan besar yang muncul dari rencana ini adalah: ke mana warga Gaza akan dipindahkan? Trump mengusulkan untuk merelokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania. Namun, rencana ini segera mendapat penolakan keras dari kedua negara tersebut serta negara-negara Arab lainnya di kawasan itu. Penolakan ini menyoroti kompleksitas politik dan sosial yang terlibat dalam rencana relokasi semacam itu.
Sebagai bagian dari rencananya, Trump juga menyatakan niatnya untuk membangun sekitar enam lokasi permukiman baru di luar Gaza bagi warga Palestina. Permukiman ini digambarkan sebagai kamp pengungsian permanen yang didukung oleh Amerika Serikat. Trump berjanji untuk menciptakan “komunitas yang indah dan aman” bagi 1,9 juta warga Palestina, meskipun hal ini menimbulkan pertanyaan tentang hak warga Palestina untuk kembali ke tanah mereka di Gaza.
Ketika ditanya mengenai hak warga Palestina untuk kembali ke Gaza, Trump dengan tegas menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Menurutnya, warga Palestina akan mendapatkan perumahan yang lebih baik di luar Gaza, jauh dari bahaya dan lebih layak huni. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan hak untuk kembali ke tanah asal.
Menurut laporan The Guardian, hingga saat ini belum ada diskusi serius di Pentagon mengenai ide Trump untuk membuat real estate di Gaza, termasuk soal pemindahan warga Palestina. Realisasi rencana ini memerlukan izin hukum dan logistik yang kompleks. Meskipun demikian, sayap kanan Israel dan sekutu evangelis mereka di AS menyambut baik ide tersebut.
Menanggapi pernyataan Trump, Navi Pillay, Kepala Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB untuk Wilayah Palestina, menyebut rencana Trump sebagai “pemindahan paksa kelompok yang diduduki”, yang merupakan kejahatan internasional dan termasuk pembersihan etnis. Pillay menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang memungkinkan Trump untuk melaksanakan ancaman pengusiran warga Palestina dari tanah mereka.
Rencana Donald Trump untuk mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi area pengembangan real estate menimbulkan berbagai tantangan dan implikasi, baik dari segi politik, hukum, maupun kemanusiaan. Penolakan dari negara-negara Arab dan kecaman dari komunitas internasional menunjukkan bahwa rencana ini tidak hanya kontroversial, tetapi juga sulit untuk direalisasikan tanpa melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional. Dengan demikian, masa depan rencana ini masih sangat tidak pasti dan memerlukan pertimbangan yang matang dari semua pihak terkait.