XVG – Rina Pertiwi, mantan panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kini menghadapi tuntutan hukuman penjara selama empat tahun. Jaksa penuntut umum menuduh Rina terlibat dalam kasus suap senilai Rp 1 miliar terkait pengurusan eksekusi lahan milik salah satu perusahaan BUMN. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (10/2/2025), jaksa menegaskan bahwa hukuman tersebut akan dikurangi dengan masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa.
Rina Pertiwi didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1. Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut Rina untuk membayar denda sebesar Rp 500 juta. “Membayar uang denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan,” ujar jaksa dalam persidangan.
Dalam kasus ini, Rina diduga menerima suap sebesar Rp 1 miliar, di mana ia mendapatkan bagian sebesar Rp 797 juta. Jaksa menjelaskan bahwa Rina menerima hadiah tersebut dengan dugaan bahwa hadiah itu diberikan sebagai imbalan atas tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. “Telah menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Kasus ini bermula dari gugatan perdata yang diajukan oleh ahli waris pemilik tanah di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, yang dikuasai oleh BUMN. Ahli waris tersebut memberikan kuasa kepada Ali Sofyan untuk mengurus gugatan tersebut. Gugatan perdata ini telah diputus hingga tahap peninjauan kembali (PK), dengan hasil yang menghukum perusahaan BUMN untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar).
Ali Sofyan, bersama dengan Johanes dan Sareh Wiyono, mengadakan tiga kali pertemuan untuk membahas eksekusi putusan PK tersebut. Ali kemudian mengajukan surat permohonan eksekusi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Jaktim dan menghubungi Rina, yang bersedia membantu mengurus eksekusi tersebut. “Bahwa setelah Saksi Ali Sofyan menerima surat kuasa tanggal 18 Februari 2020, selanjutnya pada pertengahan Februari 2020 Saksi Ali Sofyan memasukkan surat permohonan eksekusi tanggal 24 Februari 2020 melalui PTSP Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan bertemu dengan Terdakwa di PTSP,” ujar jaksa.
Surat permohonan eksekusi tersebut diteruskan ke meja ketua PN Jaktim dan didisposisi kepada Rina selaku panitera. Rina kemudian membuat resume surat permohonan eksekusi lahan yang diajukan Ali, yang menyatakan bahwa penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap aset badan milik negara/daerah. Namun, jaksa menuduh Rina tidak menjalankan resume tersebut dan tetap melakukan penyitaan pada rekening salah satu perusahaan BUMN senilai Rp 244.604.172.000 (Rp 244 miliar).
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan kepatuhan terhadap hukum dalam menjalankan tugas sebagai pejabat publik. Tindakan Rina Pertiwi yang diduga menerima suap dan menyimpang dari prosedur hukum yang berlaku menunjukkan pelanggaran serius terhadap etika dan tanggung jawab jabatannya. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan dan menjadi pelajaran bagi pejabat lainnya untuk selalu menjunjung tinggi integritas dalam menjalankan tugasnya.