XVG – Dalam sebuah putusan yang menggugah kesadaran, majelis hakim banding yang mengurusi perkara korupsi pengelolaan komoditas timah mengemukakan saran penting terkait penanganan kerugian ekologi dan ekonomi. Mereka mengusulkan agar kerugian yang mencapai angka fantastis Rp 271 triliun ini diusut melalui pengadilan khusus lingkungan. Saran ini muncul sebagai respons atas besarnya kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang tak terelakkan.
Menanggapi saran tersebut, Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk mengajukan gugatan perdata terhadap pihak-pihak terkait. “Sepanjang dalam rangka pengembalian kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, bisa saja,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat (14/2/2025). Namun, Kejaksaan Agung akan mempelajari terlebih dahulu putusan majelis hakim tersebut sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
Dalam upaya mengejar pengembalian kerugian negara, Kejaksaan Agung akan berpedoman pada ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal 18 UU Tipikor mengatur tentang perampasan barang hasil tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, serta pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi. “Hakim juga sependapat bahwa kerugian kerusakan lingkungan bagian dari kerugian keuangan negara, maka jaksa akan menggunakan Pasal 18 UU Tipikor untuk mengejarnya,” tambah Harli Siregar.
Dalam perkara ini, nilai kerugian negara yang disetujui dalam putusan pengadilan tingkat pertama mencapai sekitar Rp 300 triliun. Kerugian tersebut terdiri dari beberapa komponen, antara lain:
- Kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2,2 triliun.
- Kerugian pembayaran kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah oleh PT Timah Tbk ke beberapa smelter swasta dan PT Smelter, PT Timah sebesar Rp 3 triliun dan Rp 737 juta.
- Kerugian jarak atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal sebesar Rp 26,6 triliun.
- Kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal sebesar Rp 271 triliun.
Kerugian kerusakan lingkungan tersebut meliputi:
a. Kerugian ekonomi sebesar Rp 183 triliun.
b. Kerugian Ekonomi Lingkungan sebesar Rp 75,4 triliun.
c. Biaya Pemulihan atas kerusakan Lingkungan atau ekonomi hutan sebesar Rp 11,8 triliun.
Majelis hakim banding menyoroti poin nomor 4 yang totalnya mencapai Rp 271 triliun. Mereka menyarankan agar para terdakwa, termasuk Harvey Moeis, dituntut secara perdata atau pidana melalui pengadilan khusus masalah lingkungan. “Menimbang bahwa kerugian keuangan negara dari tiap-tiap akibat adanya kerusakan limbah, ekonomi limbah dan biaya pemulihan limbah tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa kerugian tersebut nyata sebagaimana pendapat ahli Bambang Hero yang harus dimintakan pertanggungjawaban,” kata hakim.
Majelis hakim menegaskan bahwa kerugian ekologi ekonomi dan pemulihannya hendaknya disidik dan dituntut oleh pengadilan khusus lingkungan, dan tidak digabungkan dengan perkara tindak pidana korupsi. Langkah ini diharapkan dapat memberikan keadilan dan pertanggungjawaban yang tepat atas kerugian besar yang dialami negara akibat kerusakan lingkungan. Kejaksaan Agung diharapkan dapat segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti saran ini demi kepentingan negara dan lingkungan.