XVG – Sebuah riset mutakhir yang diterbitkan dalam jurnal Nature mengungkapkan bahwa ekosistem gambut dan mangrove memainkan peran krusial dalam menekan emisi karbon dioksida (CO2) di Asia Tenggara. Para ilmuwan menyoroti bahwa lebih dari separuh emisi karbon dari penggunaan lahan di kawasan ini dapat ditekan melalui upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem tersebut.
Menurut Sigit Sasmito, peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER) di James Cook University, menjaga dan memulihkan ekosistem gambut dan mangrove yang kaya akan cadangan karbon dapat mengurangi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) setiap tahunnya. “Angka ini setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca (GRK) Malaysia pada tahun 2023,” jelas Sigit dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (5/2/2025).
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) memperingatkan bahwa emisi CO2 dapat meningkat hingga 38 persen jika lahan gambut dikonversi menjadi perkebunan sawit. Oleh karena itu, penanaman mangrove ditargetkan mencapai 1.500 hektare per tahun ke depan sebagai langkah mitigasi. Meskipun ekosistem gambut dan mangrove hanya mencakup 5,4 persen dari luas daratan Asia Tenggara, potensinya dalam menyerap karbon sangat signifikan.
Penelitian yang dilakukan antara tahun 2001 hingga 2022 menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berkontribusi besar terhadap emisi GRK. Tim peneliti menemukan bahwa lahan gambut dan mangrove dapat menjadi solusi alami untuk membantu negara-negara mencapai target nol karbon. Namun, gangguan terhadap ekosistem ini, seperti alih fungsi lahan, dapat menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Wahyu Catur Adinugroho, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90 persen emisi di Asia Tenggara. Namun, Indonesia memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi. “Negara kita memiliki 3,4 juta hektare hutan mangrove dan 13,4 juta hektare lahan gambut,” ungkap Wahyu.
Haruni Krisnawati, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, menjelaskan bahwa ekosistem gambut dan mangrove memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa, terutama tanahnya yang jenuh air dan terbatasnya oksigen dalam waktu lama. Kondisi ini mengurangi tingkat dekomposisi bahan organik, menjadikan ekosistem ini sebagai penyerap karbon paling efektif di bumi.
Lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, menjadikannya rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia. Jika hilang, cadangan karbon ini tidak mudah dipulihkan. Oleh karena itu, upaya konservasi dan restorasi menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem ini.
Riset ini melibatkan peneliti dari berbagai institusi ternama, termasuk Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Ekosistem gambut dan mangrove di Asia Tenggara memiliki potensi besar dalam mengurangi emisi CO2 dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Dengan langkah konservasi dan restorasi yang tepat, kawasan ini dapat berkontribusi signifikan dalam mencapai target nol karbon. Namun, tantangan dalam menjaga keberlanjutan ekosistem ini memerlukan perhatian dan tindakan serius dari berbagai pihak.