XVG – Debat televisi perdana antara Olaf Scholz dan Friedrich Merz pada Minggu (9/2) lebih banyak menyoroti isu-isu politik dalam negeri Jerman. Meskipun sempat menyinggung isu internasional seperti konflik di Ukraina dan kebijakan Presiden AS Donald Trump, fokus utama tetap pada tantangan domestik. Selama 90 menit, Scholz dari Partai Sosialdemokrat (SPD) dan Merz dari Uni Kristen Demokrat (CDU) saling beradu argumen mengenai cara mengatasi masalah ekonomi, pertahanan, dan migrasi yang menjadi perhatian utama publik.
Saat ini, sentimen publik tidak berpihak kepada SPD dan Olaf Scholz. Menjelang hari pemilihan pada 23 Februari, dukungan untuk SPD stagnan di angka 15%, berdasarkan jajak pendapat terbaru. Ini menjadi tantangan besar bagi Scholz, yang sebelumnya memenangkan pemilu legislatif pada September 2021 dengan lebih dari 25% suara. Jika prediksi bahwa Friedrich Merz akan memenangkan kursi kanselir terbukti benar, masa depan Scholz di SPD bisa terancam, bahkan mungkin pensiun dini.
Koalisi konservatif CDU/CSU saat ini memimpin jajak pendapat dengan sekitar 30% dukungan. Meskipun sempat mengandalkan suara dari partai radikal kanan untuk memperketat kebijakan imigrasi, yang akhirnya gagal di parlemen, dukungan untuk CDU tidak berkurang. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Berlin dan München, dengan ratusan ribu orang memprotes kebijakan tersebut. SPD dan Scholz menuduh Merz melanggar janji untuk tidak bekerja sama dengan partai ekstremis Alternatif untuk Jerman (AfD), yang dianggap sebagai pelanggaran konsensus politik di Jerman.
Merz menegaskan bahwa tidak ada kerja sama dengan AfD, mengingat perbedaan pandangan yang signifikan dalam isu-isu seperti Eropa, NATO, dan kebijakan luar negeri. Namun, kebijakan imigrasi yang diusung Merz tetap menjadi titik temu yang kontroversial. Scholz mengkritik kebijakan ini sebagai pelanggaran hukum Eropa dan tidak mungkin disetujui oleh Mahkamah Eropa. Merz, di sisi lain, berpendapat bahwa kebijakan tersebut didukung oleh konstitusi dan masyarakat, serta menunjukkan peningkatan dukungan dalam jajak pendapat.
Debat antara Scholz dan Merz tidak lepas dari serangan personal. Merz sering mengkritik Scholz sebagai tidak kompeten dan hanya sebagai “makelar kekuasaan.” Sebaliknya, Scholz menyebut Merz dengan julukan “Fritze,” yang berarti “tukang” dalam dialek Jerman Utara, dan menuduhnya sering berbicara “omong kosong.” Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa perdebatan adalah bagian dari demokrasi dan tidak mengambil serangan tersebut secara pribadi.
Isu domestik seperti kebijakan utang pemerintah menjadi perdebatan sengit antara kedua partai. SPD ingin melonggarkan batasan utang untuk investasi masa depan, terutama dalam modernisasi militer. Sementara itu, CDU dan Partai Liberal Demokrat (FDP) menolak penambahan utang baru dan lebih memilih pertumbuhan ekonomi serta pengetatan anggaran sosial. Merz mengusulkan mekanisme sanksi bagi penerima bantuan negara yang menolak bekerja sebagai solusi untuk mengurangi pengangguran.
Menjelang pemilihan, Merz yang menjadi calon favorit harus menjawab pertanyaan mengenai pembentukan koalisi. Tanpa AfD, CDU hanya memiliki FDP sebagai mitra potensial, namun belum mencapai ambang batas lima persen. Merz membuka kemungkinan berkoalisi dengan SPD dan Partai Hijau, dengan syarat kebijakan yang dihasilkan mampu mencegah menguatnya AfD. Dia menekankan pentingnya dialog dan kompromi untuk menyelesaikan masalah di Jerman.
Survei pasca-debat menunjukkan Olaf Scholz sebagai pemenang dengan dukungan 37%, sementara Friedrich Merz mendapatkan 34%. Sebanyak 29% responden tidak melihat perbedaan signifikan antara keduanya. Kedua kandidat mengaku puas dengan hasil debat, yang dianggap sebagai pelajaran bagi demokrasi. Scholz menekankan pentingnya bertukar pandangan dalam demokrasi, sementara Merz menyebut debat tersebut sebagai kesempatan untuk mengemukakan poin-poin penting.
Dengan hasil debat yang ketat dan tantangan politik yang kompleks, pemilu mendatang akan menjadi penentu arah masa depan politik Jerman. Kedua kandidat harus terus berupaya meyakinkan publik dengan visi dan kebijakan mereka untuk mengatasi isu-isu krusial yang dihadapi negara.