Di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, terbentang sebuah pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer. Keberadaan pagar ini menjadi teka-teki besar bagi pemerintah daerah dan pusat, yang hingga kini belum mengetahui siapa pemilik dari pagar ilegal tersebut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, mengungkapkan bahwa pagar tersebut terbuat dari bambu atau cerucuk dengan tinggi sekitar 6 meter. Keberadaan pagar ini telah menimbulkan keluhan dari para nelayan setempat yang mengalami kesulitan dalam mencari ikan.
“Panjang 30,16 km ini meliputi 6 kecamatan, tiga desa di Kecamatan Kronjo, kemudian tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, dan tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, serta dua desa di Kecamatan Teluknaga,” jelas Eli dalam sebuah diskusi di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta.
Keberadaan pagar ini pertama kali dilaporkan oleh warga pada 14 Agustus 2024. Menanggapi laporan tersebut, DKP segera mengirimkan tim untuk melakukan pengecekan lima hari kemudian. Pada saat itu, panjang pagar yang terdeteksi baru mencapai 7 kilometer.
Tim gabungan dari DKP dan Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali melakukan inspeksi pada 4-5 September. Hasilnya, tidak ditemukan adanya izin dari camat maupun kepala desa terkait pembangunan pagar tersebut.
“Terakhir kami melakukan inspeksi gabungan bersama TNI Angkatan Laut Polairud, PSDKP, PUPR, SATPOL PP, dan Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang. Panjang pagar yang terdeteksi sudah mencapai 13,12 km, dan terakhir malah sudah 30 km,” ungkap Eli.
Eli menjelaskan bahwa pagar ini berada di kawasan pemanfaatan umum yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2023-2043. Pagar tersebut melintasi berbagai zona, termasuk zona pelabuhan laut, zona perikanan tangkap, zona pariwisata, zona pelabuhan perikanan, zona pengelolaan energi, dan zona perikanan budidaya. Selain itu, pagar ini juga beririsan dengan rencana pembangunan waduk lepas pantai yang diinisiasi oleh Bappenas.
Di sekitar kawasan pagar, terdapat sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya yang aktivitasnya terganggu akibat keberadaan pagar ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat pesisir.
Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Suharyanto, juga menyoroti keberadaan pagar sepanjang 30 kilometer ini. Namun, hingga kini, KKP belum mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut. Suharyanto menyebutkan bahwa Ombudsman sedang melakukan penelusuran terkait hal ini.
Ketika ditanya kemungkinan pagar ini dibangun untuk keperluan reklamasi, Suharyanto tidak dapat memastikan. Ia menegaskan bahwa setiap kegiatan reklamasi harus melalui proses perizinan yang ketat.
“Nah, kita tidak tahu. Itu (reklamasi) baru kita ketahui ketika ruang laut itu diajukan permohonan dan dalam permohonannya ada proposalnya. Ini kan tidak ada,” ujar Suharyanto.
“Kalau ngomongin itu untuk batas reklamasi, ya saya bilang tunggu dulu. Karena di dalam proses perizinan ruang laut, harus ada persyaratan ekologi yang harus ketat dipenuhi,” tambahnya.
Keberadaan pagar laut misterius di pesisir Tangerang ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat segera menemukan solusi dan mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar ilegal ini, demi menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.