Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan monumental dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, atau yang dikenal sebagai presidential threshold sebesar 20 persen. Keputusan ini dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).
Penghapusan presidential threshold ini terjadi setelah MK menerima gugatan dari empat mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka berpendapat bahwa aturan ini membatasi hak konstitusional pemilih dalam mendapatkan alternatif pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang memadai.
MK menilai bahwa presidential threshold membatasi pilihan pemilih dan cenderung membuat Pemilihan Presiden (Pilpres) hanya diikuti oleh dua pasangan calon (paslon). Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan, “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (2/1/2025).
Presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung capres dan cawapres. Sebelum dihapus, ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 222 menyebutkan bahwa capres dan cawapres diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta Pemilu, dengan syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada Pemilihan Legislatif (Pileg) sebelumnya.
Presidential threshold bukanlah aturan baru di Indonesia. Ambang batas ini pertama kali diberlakukan pada Pilpres 2004. Pada saat itu, partai atau gabungan partai harus memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pileg untuk bisa mengusung capres dan cawapres. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pada Pilpres 2009, presidential threshold kembali diberlakukan melalui Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan Pasal 9, partai atau gabungan partai harus memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari suara sah nasional dalam Pileg sebelum Pilpres.
Pada 2019 dan 2024, dilakukan perubahan presidential threshold ketika ambang batas partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Partai atau gabungan partai bisa mengajukan capres dan cawapres jika memperoleh sekurang-kurangnya 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Penghapusan presidential threshold oleh MK diharapkan dapat membuka peluang lebih besar bagi partai-partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden, sehingga memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih. Langkah ini juga diharapkan dapat mendorong partisipasi politik yang lebih inklusif dan kompetitif dalam Pilpres mendatang.
Keputusan MK untuk menghapus presidential threshold merupakan langkah penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia. Dengan memberikan lebih banyak alternatif kepada pemilih, diharapkan proses demokrasi dapat berjalan lebih dinamis dan representatif. Keputusan ini juga menandai era baru dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia, yang lebih terbuka dan adil bagi semua partai politik.