Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menetapkan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk periode 2015-2022. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan bahwa kelima korporasi tersebut adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, menjelaskan bahwa kelima korporasi tersebut dibebankan tanggung jawab atas kerugian negara yang mencapai Rp271 triliun. Rincian kerugian tersebut meliputi PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun. Total kerugian yang telah dihitung mencapai sekitar Rp152 triliun, sementara sisa kerugian sebesar Rp119 triliun masih dalam proses perhitungan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Aktivis lingkungan, Elly Agustina Rebuin, mengkritik putusan kasus korupsi timah ini. Menurutnya, putusan tersebut seolah menindas masyarakat Bangka Belitung, provinsi penghasil timah terbesar di Indonesia. Elly menilai bahwa para terdakwa yang ditangkap oleh Kejagung sebenarnya memiliki peran penting dalam memperbaiki tata kelola pertambangan timah di wilayah tersebut.
Elly menjelaskan bahwa penangkapan tokoh masyarakat seperti Harvey Moeis dan Tamron alias Aon telah menghambat masyarakat dalam menjual hasil tambang bijih timah mereka kepada PT Timah. Akibatnya, produksi PT Timah mengalami penurunan setiap tahunnya. Aon, yang sebelumnya berhasil membina masyarakat untuk menjual hasil tambang mereka secara tertib kepada PT Timah, kini tidak dapat lagi menjalankan perannya.
Elly juga mengkritik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang menurutnya hanya sekadar teori. Ia menilai bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh negara justru menyengsarakan rakyat, dan pemerintah gagal melindungi masyarakat Bangka Belitung. Masyarakat yang selama ini menjual hasil tambang mereka kepada PT Timah tanpa harus membayar pembebasan lahan kini dianggap sebagai penambang ilegal.
Menurut Elly, PT Timah telah diuntungkan dengan kerja sama yang terjalin dengan masyarakat, dan negara juga mendapatkan manfaat dari hilirisasi komoditas tambang dari pasir menjadi logam. Dengan adanya kerja sama selama 1,5 tahun, pembelian pasir dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan tersebut.
Kasus dugaan korupsi timah ini menyoroti kompleksitas hubungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Penetapan tersangka korporasi oleh Kejagung diharapkan dapat memberikan keadilan, namun juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap masyarakat lokal dan keberlanjutan industri pertambangan di Bangka Belitung. Masyarakat dan aktivis lingkungan menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini dengan adil dan bijaksana.