Tahun 2024 mencatatkan eksodus besar-besaran warga Israel, dengan lebih dari 82.000 orang meninggalkan negara tersebut. Data dari Biro Pusat Statistik Israel menunjukkan bahwa 82.700 orang meninggalkan Israel sepanjang tahun ini, meningkat tajam dari sekitar 55.000 pada tahun sebelumnya. Sementara itu, hanya 23.800 orang yang kembali ke Israel pada periode yang sama.
Eksodus ini terjadi di tengah konflik yang semakin memanas antara militer IDF dan Hamas, serta sekutunya. Biro Pusat Statistik Israel mengungkapkan bahwa eksodus ini berkontribusi pada penurunan pertumbuhan penduduk Israel sebesar 1,1 persen pada tahun 2024, turun dari 1,6 persen pada tahun sebelumnya. Ini merupakan perlambatan pertama sejak pandemi Covid-19 pada tahun 2020.
Perubahan demografi juga menjadi perhatian, dengan sekitar 7,7 juta imigran Yahudi dari Eropa dan Timur Tengah yang tinggal di wilayah Palestina yang kini menjadi bagian dari Israel, sementara populasi penduduk asli Palestina mencapai sekitar 7,5 juta.
Eksodus massal ini mulai meningkat pada Juli 2024, dengan peningkatan 285 persen warga Israel yang meninggalkan negara secara permanen setelah serangan 7 Oktober 2023. Laporan terbaru mengonfirmasi bahwa hampir setengah juta orang meninggalkan Israel setelah serangan tersebut.
Meskipun Biro Pusat Statistik Israel tidak merinci alasan kepergian warga, laporan media lokal menyebutkan bahwa eksodus ini dipicu oleh perang yang berkepanjangan, yang memicu serangan roket dari Lebanon, Jalur Gaza, dan Yaman. Banyak warga Israel yang memiliki opsi untuk memiliki rumah kedua di luar negeri memilih untuk pindah demi mencari keamanan dan stabilitas.
Konflik yang berkepanjangan juga berdampak pada ekonomi Israel, dengan lebih dari 40.000 perusahaan bangkrut sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023. Menurut laporan surat kabar Israel Maariv, 77 persen dari perusahaan yang terdampak adalah usaha kecil, termasuk bisnis konstruksi dan industri seperti keramik, AC, aluminium, dan bahan bangunan.
Sektor perdagangan, termasuk fesyen, furniture, dan peralatan rumah tangga, serta sektor jasa seperti kafe, hiburan, dan transportasi, juga terkena dampaknya. Aktivitas korporasi di berbagai sektor menurun drastis sejak dimulainya perang.
EO perusahaan informasi bisnis CofaceBDI, Yoel Amir, mengonfirmasi bahwa sekitar 56 persen manajer perusahaan komersial di Israel melaporkan penurunan signifikan dalam kegiatan mereka sejak perang dimulai. Tantangan ini diperparah dengan kekurangan tenaga kerja, penurunan penjualan, masalah transportasi dan logistik, serta kekurangan bahan baku. Lonjakan suku bunga tinggi dan biaya pembiayaan juga menambah beban.
Jika masalah ini tidak segera diatasi, para analis memprediksi bahwa sekitar 60.000 perusahaan di Israel akan tutup permanen pada akhir tahun 2024.
Konflik dengan Hizbullah juga menambah beban finansial Israel, dengan pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran yang melonjak. Anggaran militer Israel membengkak sebesar 582 miliar shekel atau sekitar 155 miliar dolar AS untuk membeli perlengkapan dan alat tempur serta membiayai perekrutan tentara cadangan.
Dampaknya, ekonomi Israel kini berada di ambang kehancuran, dengan defisit negara membengkak mencapai 8,1 persen, naik menjadi 8,5 miliar shekel atau 2,2 miliar dolar AS dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh melampaui target defisit Israel di tahun 2024 yang hanya dipatok 6,6 persen.
Eksodus massal dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh konflik yang berkepanjangan menempatkan Israel dalam situasi yang sangat menantang. Dengan meningkatnya ketidakstabilan dan tekanan ekonomi, masa depan Israel menghadapi ketidakpastian yang signifikan. Pemerintah dan masyarakat internasional perlu bekerja sama untuk mencari solusi damai dan mengatasi krisis yang sedang berlangsung.