Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal sebagai Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta dan politikus dari PDI Perjuangan, dengan tegas menolak gagasan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ahok mengaitkan wacana ini dengan praktik politik di era Orde Baru yang menurutnya tidak demokratis. “Sejak dulu saya menolak. Tentu saja. Alasan paling penting adalah kita harus belajar dari zaman Orde Baru,” ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Selasa (13/12/2024).
Menurut Ahok, pemilihan kepala daerah seharusnya dilakukan secara demokratis, dari rakyat untuk rakyat. Ia menilai, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka rakyat hanya akan menjadi penonton. “Hasilnya apa? Rakyat kan cuma jadi penonton, nggak peduli,” tegasnya. Ahok juga mengkhawatirkan bahwa pemilihan oleh DPRD akan membuka peluang bagi praktik politik yang tidak sehat, di mana persetujuan bisa diatur oleh ketua umum partai politik.
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali mencuat setelah diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan alasan efisiensi anggaran. Prabowo menyebut bahwa anggaran besar yang digunakan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa dialihkan untuk kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam pidatonya di acara HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Prabowo mencontohkan negara seperti Singapura, Malaysia, dan India yang dianggap lebih efisien karena kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Isu ini bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Gagasan serupa pernah muncul di era Presiden Joko Widodo dan mendapat dukungan dari beberapa tokoh politik. Namun, wacana ini juga menuai pro dan kontra di kalangan publik. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyebut bahwa isu ini mendapatkan sentimen negatif dari publik karena dianggap sebagai kemunduran demokrasi. “Jelas sentimen negatif kalau pilkada oleh DPRD, itu langkah mundur demokrasi,” kata Adi.
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai bahwa wacana ini mengebiri hak politik rakyat. Ia juga mengingatkan bahwa pemilihan oleh DPRD berpotensi melahirkan calon tunggal dan meningkatkan praktik politik uang. “Meski dipilih DPRD, politik uang potensial masih terjadi ke DPRD yang punya suara memilih,” ujarnya.
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali menjadi perdebatan di Indonesia. Sementara pemerintah beralasan efisiensi anggaran, banyak pihak yang khawatir akan dampaknya terhadap demokrasi dan potensi praktik politik yang tidak sehat. Penolakan tegas dari tokoh seperti Ahok menunjukkan bahwa isu ini masih jauh dari kata sepakat. Diharapkan, diskusi lebih lanjut dapat menghasilkan solusi yang terbaik bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.