Sejarah kerap menjadi cermin bagi kita untuk menimba hikmah dari masa lampau, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi yang tak menentu. Salah satu teladan yang dapat kita ambil adalah dari sosok Sri Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX), seorang raja dan tokoh terkemuka di Indonesia yang hidup antara tahun 1912 hingga 1988. Melalui sikap kesederhanaan dan kedermawanannya, Sultan HB IX memberikan pelajaran berharga bagi generasi kini dan mendatang.
Sikap kesederhanaan Sultan HB IX tercermin dari kebiasaannya yang lebih memilih jajan di pinggir jalan ketimbang di restoran mewah. Salah satu kisah yang menggambarkan hal ini datang dari Abdurrahman Baswedan pada tahun 1945. Baswedan, kakek dari politisi Anies Baswedan, menceritakan pengalamannya ketika diajak oleh Sultan HB IX untuk menikmati jajanan di pinggir jalan saat menghadiri rapat KNIP di Malang. Cuaca yang hujan rintik membuat suasana rapat membosankan, dan Sultan HB IX mengajak Baswedan keluar untuk mencari suasana yang lebih menyenangkan.
Mereka akhirnya menemukan sebuah warung kecil yang hanya diterangi lampu sentir, di mana mereka memesan kopi panas dan pisang goreng. Kesederhanaan ini juga tercatat dalam autobiografi Sultan HB IX, “Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX” (1982), di mana diceritakan bahwa Sultan pernah membeli es gerobakan di pinggir jalan depan Stasiun Klender, Jakarta, pada tahun 1946.
Selain kesederhanaan, kedermawanan Sultan HB IX juga menjadi teladan yang patut dicontoh. Pada tahun 1947, ketika Indonesia dilanda krisis politik dan ekonomi pasca-kemerdekaan, banyak rakyat yang menderita akibat pertempuran. Dalam situasi sulit ini, Sultan HB IX tergerak untuk membantu rakyatnya. Dia membuka peti harta keraton dan membagikan uang gulden Belanda kepada rakyat yang membutuhkan, dibantu oleh sekretaris pribadi dan pejabat lainnya.
Dalam wawancara dengan penulis buku “Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX” (1982), Sultan mengaku tidak ingat berapa banyak uang yang dibagikan. Namun, Wakil Presiden Mohammad Hatta mencatat bahwa jumlahnya sekitar 5 juta gulden, yang setara dengan Rp20 miliar pada masa sekarang. Uang tersebut tidak hanya dibagikan kepada individu, tetapi juga kepada lembaga seperti tentara dan unit Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mengusir tentara Belanda.
Sikap ikhlas Sultan HB IX dalam membantu sesama terlihat ketika dia tidak meminta penggantian dari negara atas harta yang telah dibagikannya. Dia terus menebar uang setiap hari kepada masyarakat Yogyakarta dan para pegawai di Kesultanan selama 3-4 bulan. Bagi Sultan, uang lima juta gulden hanyalah sebagian kecil dari hartanya. Sebelumnya, dia juga pernah menyumbang 6,5 juta gulden kepada pemerintah sebagai modal awal pembentukan Indonesia, yang setara dengan Rp32 miliar pada masa sekarang.
Teladan dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX menunjukkan bahwa kesederhanaan dan kedermawanan adalah sikap yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Sejarah mengajarkan kita bahwa sikap seperti ini tidak hanya membantu meringankan beban orang lain, tetapi juga memperkuat solidaritas dan persatuan di antara kita. Di tahun 2024 dan seterusnya, semoga kita dapat mengambil inspirasi dari teladan Sultan HB IX untuk menghadapi tantangan ekonomi dengan bijak dan penuh empati.