Septia Dwi Pertiwi, mantan pegawai PT Lima Sekawan (Hive Five), menghadapi ancaman hukuman penjara selama satu tahun atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap mantan atasannya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Kasus ini bermula dari curahan hati Septia di media sosial yang menyoroti dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang dialaminya selama bekerja di perusahaan tersebut.
Perkara ini bermula pada 2 November 2022, ketika Septia merasa diperlakukan tidak adil oleh perusahaan tempatnya bekerja. Melalui akun Twitter-nya @setiadp, ia mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap perlakuan perusahaan. Salah satu cuitannya menyebutkan, “Pukul 23.00. Jam di mana wajar kalau ada manusia yang sudah istirahat, tapi ada atasan yang marah-marah karena saat beliau share prospek tidak ada satu pun karyawan marketingnya yang merespon, sampai Call grup biar marketingnya bangun buat respon.”
Pada 21 Januari 2023, Septia kembali mencuitkan keluhannya, menyatakan bahwa ia telah bekerja selama 24 jam tanpa dibayar uang lembur. Bahkan, gajinya malah diturunkan dengan alasan perusahaan banyak merekrut karyawan baru. Di hari yang sama, ia juga mengomentari unggahan di Twitter, menyoroti kebiasaan perusahaan yang memotong gaji karyawan sesuka hati dan tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diterima karyawan.
Pada 23 Januari 2023, Septia kembali menuntut perusahaan untuk memberikan hak-hak karyawan, termasuk pengembalian ijazah dan buku nikah mantan karyawan. Ia menulis, “Ini urusin dulu dong haknya yang belum diturunin, kan kasihan sudah kerja main pecat saja tapi haknya tidak diturunin.”
Unggahan-unggahan tersebut rupanya dilihat oleh Jhon LBF pada Januari 2023, yang merasa nama baiknya dicemarkan. Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), cuitan-cuitan Septia dianggap sebagai opini negatif yang merusak nama baik Jhon LBF sebagai Komisaris PT Lima Sekawan (Hive Five). Akibat cuitan tersebut, Jhon LBF mengklaim mengalami kerugian materil karena kegagalan kerja sama bisnis senilai Rp 118 juta.
Atas perbuatannya, Septia dituntut hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara. JPU menilai Septia melanggar Pasal 27 Ayat 3 Juncto Pasal 36 Juncto Pasal 51 Ayat 2 UU ITE. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (18/12), Septia membacakan nota pembelaan atau pleidoi. Ia menjelaskan bahwa selama 21 bulan bekerja di perusahaan tersebut, ia mengalami berbagai pengalaman pahit, termasuk pemecatan mendadak dan pemotongan gaji tanpa alasan jelas.
Kasus ini menarik perhatian publik, dengan banyak masyarakat yang mendukung Septia. Beberapa di antaranya bahkan mengirimkan amicus curiae atau sahabat peradilan. Pengacara Septia, Gina Sabrina, menyatakan bahwa 15 amicus curiae telah diserahkan kepada majelis hakim, termasuk dari 14 organisasi masyarakat sipil dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selain itu, ada petisi daring yang telah ditandatangani oleh 6.612 masyarakat yang mendukung pembebasan Septia.
Gina berharap bahwa penyerahan dokumen amicus curiae dan petisi daring tersebut dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara ini. “Kami berharap hakim terketuk nuraninya untuk mempertimbangkan berbagai nota pembelaan dan dukungan publik untuk membebaskan Septia,” ujar Gina.
Kasus yang menjerat Septia Dwi Pertiwi ini menjadi sorotan publik, menyoroti isu ketenagakerjaan dan kebebasan berekspresi di media sosial. Dengan dukungan dari masyarakat dan berbagai organisasi, diharapkan proses hukum dapat berjalan adil dan transparan, memberikan kejelasan dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.