Helena Lim, yang dikenal sebagai crazy rich dari Pantai Indah Kapuk (PIK), menghadapi sidang putusan atas dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Sidang ini berlangsung pada Senin, 30 Desember 2024, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Berdasarkan pantauan di lokasi, Helena Lim telah tiba di ruang sidang dengan mengenakan pakaian serba hitam. Penampilannya yang sederhana ini kontras dengan gaya hidup mewah yang sering diasosiasikan dengannya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan tuntutan kepada majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun kepada Helena Lim. JPU menilai bahwa Helena terlibat aktif dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah.
“Menuntut, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Helena dengan pidana selama delapan tahun,” ujar JPU di hadapan majelis hakim pada sidang yang digelar Kamis, 5 Desember 2024.
Selain hukuman penjara, JPU juga menuntut agar Helena, yang merupakan bos PT Quantum Skyline Exchange (QSE), dikenakan denda sebesar Rp1 miliar dengan subsider satu tahun penjara. Tidak hanya itu, Helena juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar paling lambat satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila Helena gagal membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kekurangan. “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup maka akan diganti dengan pidana penjara selama empat tahun,” tambah jaksa.
Dalam kasus ini, Helena Lim diduga berperan sebagai penampung dana pengamanan yang dikumpulkan oleh Harvey Moeis, yang bertindak sebagai perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin. Dana tersebut dihimpun Harvey dari beberapa perusahaan smelter yang diduga melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Perusahaan-perusahaan smelter yang terlibat antara lain CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa. Harvey diduga menutupi pengumpulan dana tersebut dengan kedok dana corporate social responsibility (CSR) yang berkisar antara 500 hingga 750 dolar Amerika Serikat (AS) per metrik ton, dengan bantuan dari Helena Lim.
Sidang putusan Helena Lim ini menjadi sorotan publik, mengingat statusnya sebagai salah satu tokoh terkenal di kalangan elite Jakarta. Proses hukum yang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan dan menjadi pelajaran bagi semua pihak terkait pentingnya integritas dalam pengelolaan sumber daya alam. Pengadilan Tipikor Jakarta akan terus memantau perkembangan kasus ini hingga putusan akhir dijatuhkan.