Dolfie Othniel Frederic Palit, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, merespons pernyataan Rahayu Saraswati, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, yang menyoroti peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Undang-undang ini menjadi landasan bagi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12%.
Menurut Dolfie, inisiatif awal UU HPP berasal dari pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pada saat itu, delapan fraksi di DPR RI, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) HPP untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU tersebut resmi disahkan pada 7 Oktober 2021.
Dolfie menjelaskan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk mengusulkan perubahan tarif PPN, baik kenaikan maupun penurunan. Rentang perubahan tarif tersebut berkisar antara 5% hingga 12%. “Sesuai dengan UU HPP, Pasal 7 ayat (3), pemerintah dapat mengubah tarif PPN dengan persetujuan DPR,” jelas Dolfie.
Lebih lanjut, Dolfie menekankan bahwa keputusan untuk menaikkan atau menurunkan tarif PPN harus mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional. Pemerintah diberi keleluasaan untuk menyesuaikan tarif PPN sesuai dengan situasi ekonomi yang ada.
Dolfie juga memberikan saran kepada pemerintahan Prabowo Subianto jika memutuskan untuk tetap menaikkan PPN menjadi 12%. “Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, penciptaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan masyarakat, serta pelayanan publik yang semakin baik,” tambah Dolfie.
Dengan demikian, Dolfie menegaskan bahwa setiap keputusan terkait tarif PPN harus didasarkan pada analisis yang matang dan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.