Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat menjadi 12 persen telah diusulkan dalam revisi Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 7 Oktober 2021, dengan persetujuan dari Fraksi DPR PDI-P.
Dalam pembahasan RUU HPP, Panitia Kerja (Panja) dipimpin oleh Dolfie Othniel Frederic Palit, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari fraksi PDI-P. Namun, belakangan ini, PDI-P menunjukkan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen, yang menimbulkan persepsi publik bahwa partai tersebut bersikap kontradiktif. Waketum PAN, Viva Yoga Mauladi, mengkritik sikap PDI-P yang dianggapnya seperti “lempar batu sembunyi tangan.”
Viva Yoga menyoroti bahwa perubahan sikap PDI-P mungkin dipengaruhi oleh posisinya yang kini berada di luar pemerintahan. Menurutnya, argumentasi sering kali ditentukan oleh posisi kekuasaan.
“Dulu setuju bahkan berada di garis terdepan, sekarang menolak, juga di garis terdepan,” ujarnya, menekankan inkonsistensi sikap partai tersebut.
Presiden Prabowo memutuskan untuk memberlakukan PPN 12 persen secara lex specialist, yang hanya berlaku untuk barang-barang mewah. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah bijaksana untuk melindungi daya beli masyarakat dan mencegah kontraksi ekonomi. Viva Yoga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk melindungi dan memberdayakan kepentingan masyarakat, serta akan terus memantau dan mengevaluasi aspirasi yang berkembang.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen menimbulkan kontroversi di kalangan politik dan masyarakat. Meskipun telah disahkan, perubahan sikap dari partai-partai politik, seperti PDI-P, menunjukkan dinamika politik yang kompleks. Kebijakan pemerintah untuk membatasi kenaikan PPN pada barang-barang mewah diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Pemerintah berjanji untuk terus memantau dampak kebijakan ini dan mendengarkan aspirasi masyarakat.