Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini mengeluarkan kajian mendalam mengenai Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia. Dalam kajian berjudul “Identifikasi Risiko Korupsi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia,” KPK mengungkap berbagai permasalahan yang mencoreng pelaksanaan program ini.
Salah satu temuan utama dalam laporan tersebut adalah adanya praktik bullying dan senioritas yang memicu pungutan liar hingga mencapai Rp 25 juta. Laporan KPK mengungkap bahwa perilaku favoritisme, senioritas, dan diskriminasi telah menciptakan biaya tambahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel, berkisar antara Rp 1 juta hingga lebih dari Rp 25 juta.
Data ini diperoleh dari berbagai pengaduan masyarakat yang diterima KPK, menunjukkan adanya biaya tidak resmi yang harus ditanggung oleh peserta PPDS selama masa pendidikan mereka.
Selain pungutan liar, KPK juga menemukan bahwa beberapa calon peserta PPDS diminta untuk menunjukkan saldo tabungan mereka saat proses seleksi. Hal ini terungkap dalam kajian yang sama, di mana terdapat peserta seleksi yang ditanya mengenai jumlah saldo rekening tabungan mereka.
Dari hasil survei, tercatat 58 responden mengaku diminta menunjukkan saldo tabungan. Di antara mereka, 6 responden memiliki saldo lebih dari Rp 500 juta, 4 responden dengan saldo Rp 250-500 juta, 11 responden dengan saldo Rp 100-250 juta, dan 19 responden dengan saldo kurang dari Rp 100 juta. Sementara 18 responden lainnya memilih untuk tidak mengungkapkan nominal saldo mereka.
Dana yang dipungut dari peserta PPDS digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk kebutuhan dosen untuk touring motor dan sepeda. Temuan KPK menunjukkan bahwa peserta PPDS sering kali bekerja sama dengan rekan seangkatan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dosen atau senior.
Dalam wawancara, peserta PPDS menyebutkan bahwa memenuhi kebutuhan pribadi dosen masih dianggap wajar jika dalam batas tertentu, seperti mengantar dosen ke bandara. Namun, membiayai hobi dosen seperti touring motor dan sepeda dianggap sudah tidak wajar. Untuk memenuhi kebutuhan ini, peserta PPDS mengumpulkan uang secara periodik dengan jumlah yang bervariasi, mulai dari Rp 50.000 per bulan hingga jutaan rupiah per semester.
KPK juga menemukan adanya perlakuan istimewa bagi peserta PPDS yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dosen. Dalam survei yang dilakukan, 37,09 persen responden di Sumatera, 27,24 persen di Bali-Nusa Tenggara, 22,08 persen di Jawa, dan 13,07 persen di Sulawesi mengaku pernah melihat atau mengalami perlakuan istimewa tersebut.
Dari wawancara mendalam, terungkap bahwa perlakuan istimewa ini sering kali disebabkan oleh konflik kepentingan. Peserta PPDS tingkat akhir mengungkapkan bahwa perlakuan berbeda diberikan kepada junior yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dosen untuk mempermudah pengaturan jadwal dan kelulusan mereka.
Perlakuan istimewa ini dinilai dapat berdampak negatif terhadap pelaksanaan PPDS, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan praktik yang tidak objektif dalam pendidikan. KPK menegaskan bahwa perlakuan istimewa ini sangat berpotensi menimbulkan praktik koruptif.
Kajian KPK ini menyoroti perlunya reformasi dalam pelaksanaan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia. Dengan mengatasi masalah bullying, senioritas, dan perlakuan istimewa, diharapkan PPDS dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel, serta menghasilkan dokter spesialis yang berkualitas dan berintegritas.