Kasus pelecehan seksual yang menyeret nama I Wayan Agus Suartama, atau lebih dikenal sebagai Agus Buntung, terus menjadi pusat perhatian di Nusa Tenggara Barat (NTB). Agus, seorang pria berusia 22 tahun dengan keterbatasan fisik, dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah korban. Jumlah korban yang melaporkan kejadian ini terus bertambah, dari 13 orang kini menjadi 15 orang.
Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa dua dari korban yang melapor adalah anak di bawah umur.
“Satu di antaranya putus sekolah, sementara yang lain masih duduk di bangku kelas 2 SMP,” ujar Joko kepada media pada Rabu (11/12).
Dalam video yang direkam oleh korban, Agus terlihat menggunakan pendekatan manipulatif untuk merayu korban, dengan membahas masa lalu mereka seolah-olah berniat memberikan perlindungan dan dukungan emosional.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menerima permohonan perlindungan dari empat korban dan dua pendamping kasus kekerasan seksual yang melibatkan Agus Buntung.
“Ada empat korban yang mengajukan permohonan, serta dua pendamping, karena mengalami tekanan psikologis. Seolah-olah kejadian itu tidak terjadi, padahal korban menyatakan itu terjadi,” kata Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, kepada wartawan di Jakarta Timur, Rabu (11/12).
Sri menegaskan bahwa LPSK berkomitmen untuk memberikan fasilitas guna memperkuat proses peradilan pidana. Ia juga mengungkapkan bahwa terdapat hambatan dalam proses penegakan hukum kasus ini, karena keterangan korban belum menjadi basis utama. Menurutnya, ini adalah kesempatan bagi penegak hukum untuk membuktikan kebenaran kasus tersebut.
Polisi menggelar rekonstruksi kasus Agus Buntung pada Rabu (11/12), yang dihadiri oleh Agus, orang tua korban, dan perwakilan Kompolnas. Rekonstruksi dimulai pukul 09.00 WITA di Taman Udayana, Kota Mataram, yang merupakan tempat berkumpulnya anak muda setiap akhir pekan. Di tempat inilah Agus bertemu dengan salah satu dari 15 korbannya.
Adegan rekonstruksi memperlihatkan saat Agus bertemu korban dan mereka berbincang. Namun, wartawan tidak diperkenankan mendekat sehingga percakapan tersebut tidak terdengar. Secara kronologi, dari Taman Udayana, Agus dan korban menuju ke area Islamic Center NTB, lalu ke sebuah homestay.
Rekonstruksi pertama dilakukan di homestay, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Taman Udayana. Homestay ini berbentuk seperti rumah biasa dengan banyak kamar. Tiba pukul 10.30 WITA, Agus Buntung langsung memperagakan adegan bertemu dengan pengelola homestay, yang ternyata mengenali Agus karena sering berkunjung ke tempat tersebut.
Agus membayar Rp 50 ribu dan membawa korban masuk ke kamar nomor 6, meskipun sempat terjadi perdebatan mengenai kamar yang benar. Di dalam kamar, adegan dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh kuasa hukum dan polisi, termasuk Tim Inafis. Rekonstruksi di dalam kamar berlangsung selama satu jam.
Tempat ketiga yang direkonstruksi adalah di Islamic Center, yang secara kronologi merupakan tempat sebelum homestay. Di sini, terjadi pertemuan antara Agus, korban, dan dua teman korban.
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Agus Buntung menambah daftar panjang kasus serupa di Indonesia. Proses hukum yang adil dan transparan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi para korban. Sementara itu, perlindungan dan dukungan bagi korban harus terus ditingkatkan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.