Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah menerima penghargaan prestisius Hamengku Buwono IX tahun 2024. Acara penganugerahan berlangsung di Bangsal Srimanganti, Keraton Yogyakarta, pada Kamis malam (19/12). Dalam pidatonya yang bertajuk “Transformasi Mentalitas dan Kebudayaan Indonesia,” Haedar mengungkapkan keprihatinannya terhadap kemerosotan moral dan etika yang melanda negeri ini.
Haedar menyoroti sejumlah insiden yang mencerminkan degradasi moral dan etika di kalangan pejabat negara. Ia menyebutkan pemberhentian Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Komisi Pemilihan Umum sebagai contoh nyata dari krisis ini. Meskipun Haedar tidak menyebutkan nama, publik sudah mengetahui bahwa yang dimaksud adalah mantan Ketua MK Anwar Usman, mantan Ketua KPK Firli Bahuri, dan mantan Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
Selain itu, Haedar juga menyinggung kasus yang melibatkan tokoh agama yang juga menjabat sebagai pejabat negara. Ia menyatakan bahwa baru-baru ini ada pejabat yang mundur karena masalah kepatutan etika dalam interaksi sosial. Meskipun Haedar tidak menyebutkan nama, publik mengetahui bahwa yang dimaksud adalah Gus Miftah, yang mundur dari posisinya sebagai Utusan Khusus Presiden.
Haedar menekankan bahwa perbaikan etika bernegara sangat diperlukan. Ia menyebutkan bahwa masih banyak masalah struktural seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan politik transaksional yang menyentuh ranah moral dan etika. Haedar mengutip Romo Magnis Suseno yang menyatakan keprihatinannya terhadap situasi di Indonesia dan menyerukan agar etika mendapatkan tempat yang semestinya.
Haedar menegaskan bahwa untuk memperbaiki kehidupan kebangsaan yang bermakna, diperlukan transformasi dalam dimensi mentalitas dan kebudayaan bangsa Indonesia. Transformasi ini harus dilakukan baik secara individual maupun kolektif, melalui sistem nilai budaya. Haedar juga menekankan pentingnya tokoh agama, tokoh adat, dan para intelektual di kampus untuk menjadi teladan yang dapat diikuti oleh masyarakat.
Dalam orasinya, Haedar juga menyinggung keteladanan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia menyatakan bahwa banyak tokoh nasional yang mengakui keteladanan Sultan IX dalam menunjukkan sikap kenegarawanan dan keluhuran budi. Haedar menegaskan bahwa sikap hidup Sultan IX yang autentik menjadi mutiara berharga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Penghargaan yang diterima Haedar Nashir menjadi momentum untuk menyerukan perbaikan etika bernegara. Dengan menyoroti krisis moral dan etika yang melanda bangsa, Haedar mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melakukan transformasi mentalitas dan kebudayaan demi kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Keteladanan dari tokoh-tokoh bangsa diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.