Pemilihan Wali Kota Banjarbaru menjadi sorotan setelah pasangan calon nomor urut 1, Lisa Halaby-Wartono, meraih kemenangan dengan perolehan suara 100%. Namun, kemenangan ini tidak terlepas dari diskualifikasi pasangan calon nomor urut 02, Muhammad Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, yang terjadi kurang dari sebulan sebelum hari pemungutan suara.
Pada saat diskualifikasi diumumkan, surat suara sudah terlanjur dicetak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akibatnya, suara yang diberikan kepada Aditya-Said dianggap tidak sah. Berdasarkan data Sirekap KPU, suara sah yang mendukung Lisa-Wartono hanya mencapai 35.931 suara, sementara Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Pilwalkot Banjarbaru berjumlah 195.819 orang. Dengan demikian, hanya 18,34% dari DPT yang memilih Lisa-Wartono.
Pilwalkot Banjarbaru awalnya diikuti oleh dua pasangan calon: Lisa-Wartono dan Aditya-Said. Lisa-Wartono didukung oleh koalisi besar yang terdiri dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PKS, Gelora, serta partai non-parlemen seperti PBB, Perindo, Garuda, dan PSI. Sementara itu, Aditya-Said diusung oleh PPP, Hanura, Partai Buruh, dan Ummat.
Diskualifikasi Aditya-Said diumumkan oleh Ketua KPU Kota Banjarbaru, Dahtiar, pada 31 Oktober 2024, berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan. Pasangan ini dinilai melanggar Pasal 71 Ayat (3) UU Pilkada, yang melarang penggunaan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Denny Indrayana, menyoroti hasil Pilwalkot Banjarbaru yang dianggap ‘unik’. Menurutnya, meskipun ada pasangan calon yang didiskualifikasi, seharusnya KPU memberikan opsi kotak kosong sebagai lawan. Namun, KPU tetap melanjutkan pemilu dengan dua calon, meskipun suara untuk Aditya-Said dianggap tidak sah.
Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai bahwa keputusan KPU bisa melanggar konstitusi jika dibiarkan. Ia menekankan pentingnya menyediakan opsi kotak kosong dalam surat suara, sesuai dengan Pasal 54C ayat (1) dan (2) UU 10/2016.
Menanggapi polemik ini, kelompok yang menamakan diri ‘Tim Banjarbaru Hanyar’ membuka posko pengaduan pemilu bagi masyarakat. Pembentukan posko ini diumumkan oleh Denny Indrayana melalui media sosialnya. Tim ini bertujuan untuk mengembalikan marwah demokrasi Banjarbaru dan memperjuangkan kedaulatan suara rakyat.
Denny juga menyebutkan bahwa akan ada beberapa upaya hukum yang dilakukan terkait Pilwalkot Banjarbaru, termasuk rencana gugatan hingga permohonan pembatalan SK KPU Penetapan Perolehan Suara ke Mahkamah Konstitusi.
Kontroversi Pilwalkot Banjarbaru menyoroti pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses pemilu. Diskualifikasi pasangan calon dan keputusan KPU yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi menimbulkan berbagai reaksi dan kritik dari berbagai pihak. Upaya hukum dan advokasi masyarakat diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Banjarbaru.