Jakarta, 20 November 2024 – Komisi XI DPR RI menegaskan bahwa penundaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% tidak memerlukan perubahan terhadap Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) 2021. Keputusan ini dapat diakomodasi melalui Peraturan Pemerintah (PP), sehingga tidak perlu ada revisi undang-undang.
Menanggapi keputusan tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) turut mendukung pandangan Komisi XI. Ketua DPP PKB, Dita Indah Sari, menyatakan bahwa UU HPP memang memberikan ruang untuk fleksibilitas, sehingga kenaikan PPN tidak harus menjadi keputusan final.
“Keputusan ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, keputusan akhir ada di tangan presiden,” ujar Dita dalam pernyataan tertulisnya pada Kamis, 21 November 2024.
Dita menambahkan bahwa PKB memahami kebutuhan pemerintah untuk memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, situasi ekonomi saat ini dinilai belum tepat untuk menaikkan PPN. Kenaikan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu rantai produksi di sektor manufaktur dan padat karya, yang berpotensi menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja.
“Hingga Oktober 2024, jumlah PHK yang dilaporkan telah mencapai 64.947 orang. Angka ini belum termasuk yang tidak dilaporkan,” ungkap Dita.
Sebagai alternatif untuk meningkatkan APBN, PKB mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan opsi-opsi jangka pendek lainnya yang tidak berdampak luas seperti PPN. Beberapa opsi yang diusulkan antara lain penyesuaian royalti dan bagi hasil dari produk tambang dan komoditi yang saat ini memiliki harga tinggi di pasar global. Selain itu, Dita juga menyarankan penerapan cukai ekspor untuk komoditi lain yang sedang baik harganya, serta cukai impor barang mewah.
“Dengan cara ini, kita bisa mendapatkan pemasukan tanpa mengganggu daya beli masyarakat yang sedang menurun,” saran Dita.
Dalam jangka menengah, PKB berharap adanya peningkatan efisiensi dan penegakan hukum untuk mencegah kebocoran anggaran baik dalam pemasukan maupun pengeluaran. Hal ini sejalan dengan perhatian Presiden Prabowo terhadap isu tersebut.
“Contohnya adalah penambangan ilegal, penangkapan ikan ilegal, dan penebangan liar, serta impor ilegal yang lolos dari cukai, dan penyelewengan BBM bersubsidi. Semua ini menghilangkan potensi pendapatan negara hingga ratusan triliun,” tegas Dita.
Dengan berbagai langkah tersebut, diharapkan pemerintah dapat mengatasi tantangan ekonomi tanpa harus membebani masyarakat dengan kenaikan PPN yang signifikan.