Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, berita mengenai guru yang menghadapi tekanan dari orangtua murid terkait disiplin siswa semakin sering terdengar. Beberapa kasus bahkan berujung pada gugatan hukum, karena dianggap melampaui batas dalam memberikan hukuman kepada siswa.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dalam wawancara dengan Tim Lifestyle, menyatakan bahwa fenomena orangtua menggugat guru ini merupakan bagian dari keterbukaan informasi dan pemahaman semua pihak terkait bagaimana proses pendidikan dan pengajaran seharusnya dilakukan.
“Kekerasan tidak boleh terjadi di sekolah, baik terhadap guru maupun siswa,” tegas Ubaid.
Menurut Ubaid, banyaknya orangtua yang melaporkan guru karena dugaan kekerasan adalah bentuk penolakan terhadap kriminalisasi. Jika guru tidak melakukan kekerasan namun dilaporkan oleh orangtua, itu tidak diperbolehkan. Sebaliknya, jika guru memang melakukan kekerasan, hal tersebut harus dilaporkan.
“Mendidik dengan cara kekerasan itu tidak boleh. Dilarang oleh Undang-Undang, dilarang oleh Permendikbud,” cetusnya.
Secara nasional, data menunjukkan bahwa guru sering menjadi korban kekerasan. Namun, jumlah guru sebagai pelaku kekerasan lebih banyak. Ubaid menambahkan bahwa kasus kekerasan antara guru dan siswa sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Namun, dulu belum ada Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga kekerasan terhadap siswa seolah-olah dinormalisasi.
Ubaid menyatakan bahwa orangtua harus terlibat dalam proses pendidikan anak. Orangtua memiliki wadah seperti Komite Sekolah yang merupakan perkumpulan orangtua yang harus terlibat langsung di sekolah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kegiatan di sekolah.
“Komite Sekolah bukanlah rapat pungutan atau patungan dana, itu salah kaprah. Komite Sekolah adalah wadah serikat orangtua sebagai mitra sekolah,” paparnya.
Dengan demikian, cara mendisiplinkan siswa harus melibatkan orangtua dalam diskusi. Dengan penerapan ini, sekolah bukanlah lembaga outsourcing atau “mesin laundry” tempat anak-anak yang tidak bisa membaca dan berhitung, lalu keluar dari sekolah menjadi anak-anak yang pintar.
Terkait banyaknya laporan tentang siswa yang dihukum guru dan tidak diterima oleh orangtua, Ubaid mengatakan bahwa Tim Pencegahan Penanggulangan Kekerasan di sekolah harus “hidup” dan berfungsi.
“Jadi, jika ada orangtua melapor, itu harus segera ditanggapi, ditindaklanjuti, dan ada sanksi,” tukasnya.
Dengan demikian, tidak ada orangtua murid yang memproses laporan di tingkat penegak hukum. Menurutnya, biasanya laporan orangtua tidak ditindaklanjuti oleh komite, sehingga memilih jalur hukum.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Guru, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Haeri mengemukakan bahwa maraknya laporan orangtua ke ranah hukum disebabkan oleh upaya mendisiplinkan yang terkait dengan semakin sadarnya masyarakat bahwa tindakan kekerasan memang tidak diperbolehkan di sekolah.
“Hindari hal-hal yang bersifat sentuhan fisik. Meskipun itu hanya mencubit, menyentil, dan lain sebagainya,” cetusnya.
Menurut Iman, bentuk ekspresi dan kenakalan anak akan sesuai dengan usianya. Oleh karena itu, guru harus bisa menanganinya dengan mengelola kelas sesuai perkembangan umur siswa.
Terkait campur tangan orangtua, saat terjadi kekerasan di sekolah, penanganannya harus sesuai prosedur. Pelaporan pertama harus dilakukan di tingkat sekolah, sesuai Permendikbud 46 2023, dan harus ditanyakan terlebih dahulu ke Tim PPK di sekolah.
“Apakah PPK ini berjalan atau tidak, kebanyakan orangtua tidak percaya sehingga ingin melewati proses itu,” jelasnya.
Jika semua langkah tersebut sudah ditempuh dan pelanggarannya sangat berat, tindakan hukum dengan melapor ke pihak berwajib bisa dilakukan. Maka diperlukan peran institusi, seperti Polri, agar tidak langsung meneruskan kasus semacam ini ke Kejaksaan atau Pengadilan.
Namun, guru juga harus dilindungi oleh segenap elemen masyarakat, termasuk lembaga negara dan aparat kepolisian. Fungsi tersebut harus berjalan, sehingga laporan pidana guru dengan tuduhan kekerasan pada anak bisa dievaluasi terlebih dahulu.